Konsep Dasar Geomorfologi


Konsep dasar yang diuraikan dalam sub-bab ini bersumber dari tulisan Thornburuy (1954) yang dikembangkan dengan contoh-contoh kejadian atau fenomena yang tedapat di Indoensia. Konsep dasar ini meskipun mengacu pada referensi relative lama, namun masih merupakan konsep geomorfologi yang menyeluruh dan sistematik, serta masih relevan dengan pekembangan geomorfologi hingga kini. Konsep dasar ini dapat memberikan petunjuk tentang faktor-faktor pendukung untuk mempelajari geomorfologi dan sekaligus dapat dipergunakan sebagai dasar untuk menginterpretasikan bentang lahan. Bagi dunia pendidikan yang akan memasukan geomorfologi sebagai salah satu mata ajaran dalam kurikulumnya, dapat mengetahui mata ajaran pendukungnya. Konsep dasar geomorfologi yang dimaksudkan diatas adalah sebagai berikut dibawah ini.

Konsep Pertama:
"Proses fisikal yang sama dan hukumnya-hukumnya yang bekerja saat sekarang , telah bekerja sepanjang masa (geologi) meskipun dengan intensitas yang tidak selalu sama dengan saat sekarang". Konsep ini didasari oleh kaidah uniformitarianisme, yang dikemukakan oleh Hotton (1785) kemudian dinyatakan kembali oleh Playfair (1802) dan yang dipopulerkan oleh Lyell, yang berbunyi: “saat sekarang adalah kunci masa lampau”. Proses-proses disikal yang terjadi saat sekarang seperti erosi,sedimentasi, longsor lahan, juga terjadi pada masa lampau. Apabila saat sekarang proses pengendapan pada sungai ternyam (braided-sream) dapat membentuk strutur silang siur (cross-bedded). Maka kenampakan silang siur seperti yang terdapat di Forasi Kabuh, di kubah Sangiran, Sragen, Jawa Tengah juga terbentuk sungat teranyam (Gambar 1.1). pembentukan topografi Karsl di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dicirikan oleh sungai dibawah tanah, dan pembentukan stalakmit dan stalaktil didasarnya, yang yang bahkan proses tersebut masih berlangsung hingga sekarang.

Konsep Kedua:
"Struktur geologi merupakan factor contol dominan terhadap evolusi bentuk lahan dan tercermin pada bentukk lahannya". Pengertian struktur geologi dalam konsep ini tidak terbatas hanya dalam artian sempit pada kenampakan batuan seperti lipatan, sesar, tetapi juga mencakup atribut fisikal dan khemikal dari batuan yang berpengaruh terhadap proses pentorehan (pengikisan). Strutur yang dimaksud dalam konsep ini meliputi: sikap batuam (jenias dan lapisan batuan ), kekar, bidang perlapisan, sesar, lipatan, ketidakselarasan, kemasifan batuan, kerentanan mineral terhadap perubahan khemikal, permeabilitas bantuan dan sifat-sifat lain yang menunjukkan perbedaa dari bantuan penyusun kulit bumi. Pengertian struktur geologi dalam konsep ini tidak terbatas hanya dalam artina sempit pada kenampakan batuan seperti lipatan, sesar, terapi juga mencakup atri but khemikal dari bahan batuan yang berpengaruh terhadap proses pentorehan (pengikisan). Struktur yang dimaksud dalam konsep ini meliputi sikap batan (jenus dan lapisan batuan , kekar, bidang pelapisan, sesar, lipatan , ketidak selarasan, kemasifan batuan, kerentanan mineral terhadap  perubahan chemical, permeabilitas dan sifat-sifat lain yang menunjukkan perberdaan dari batuan penysun kulit bumi.
Pengertian struktur juga mempunyai implikasi stratigrafik. Batuan yang selang seling antara yang keras dan yang lunak, anatara batuan yang resisten dan nonresisten akan berpengaruh pula pada bentuk lahan. Sebagai contoh gawir sesar yang terdapat diPengunungan Baturangung, DIY, Jawa Tengah yang tersusun oleh batu gamping dan breksi vulkanik menunjukkan perbedaan bentuk lahan yang tegas. Suatu batuan mungkin resisten terhadap suatu proses tetapi tidak resisten terhadap proses lain, di bawah pengaruh kondisi iklim yang berberda akan memberikan perbedaan tingkat resistnsinya. Batu gamping didaerah iklim tropis basah akan memberntuk topografi karstt, sedangkan di daerah beriklim kering batu gamping resisten terhadap batu pasir.
Pada umumnya kenampkan strutur dari bauan itu lebih tua dari pada bentuk lahan yang terjadi. Struktur utama seperti lipatan dan sesar terbentuk dalam waktu yang lama sekali sebelum mengalami proses erosi. Struktur geologi itu telah terbentuk sebelum bentuk lahan itu muncul. Pada ummunya terdapat hubungan yang erat antara struktur dengan kenampakan topografinya. Misalnya topografi yang  terdapat di Perbukitan Dome Sangiran bervariasi menurut litologinya dan topografinya di penggunungan Kendeng yang berstruktur lipatan menunjukkan penggelombangan. Kadang – kadang memang terjadi kenampakan topografi kurang mencerminkan strukturnya. Hal demikian mungkin saja terjadi karena homogenitas struktur atau ukuran dari struktur terlalu  besar.

Konsep Ketiga:
Pada batas-batas tertentu permukaan bumi mempunyai relief (timbunan), karena proses geomorfik mempunyai kecepatan yang berbeda-beda”. Perbedaan struktur, lintologi dan resistensi batuan pembentuk muka bumi akan menyebabkan perbedaan proses gradasi. Kadang-kadang perbedaan proses gradasi tersebut sangat nyata dan sering pula hanya menyebabkan perbedaan yang kecil saja. Perbedaan struktur  dan litologi tidak hanya tercermin dalam perbedaan proses geomorfik tetapi juga tercermin dalam topografi lokal. Faktor temperature, kelembapan, ketinggian, keterbukaan, konfigurasi, topografi, kerapatan dan jenis  vegetasi akan menentukan intesitas proses geomorfik selaimn factor struktur dan litolologi. Iklim mikro pada puncak bukit dan lembah, pada lereng yang menghadap kea rah utara dan selatan, yang tertutup vegetasi dan yang tidak tertutup vegetasi akan mempengaruhi intesitas proses geomorfik. Begitu banyak faktor yang berpengaruh terhadap intensitas proses-proses geomorfik di suatu daerah, sehingga mengakibatkan perbedaan relief. Konsep ketiga ini member petunnjuk pada kita meskipun suatu daerah memiliki struktur  dan lotologi yang sama, daerah tersebut akan menunjuk-kan perbedaan relief meskipun hanya kecil sekalipun, apalagi apabila struktur  dan litologinya berbeda maka perubahan relief akan nyata sekali. Relief, dengan demikian dapat dijadikan dasar untuk menentukan perbedaan, litolofi maupun proses geomorfik yang bekerja pada suatu daerah. Konsep ini sangat bermanfaat sebagai dasar interpretasi fotoudara geomorfologikal.

Konsep Keempat:
Proses-proses geomorfik itu meningalkan bekas yang nyata pada bentuk lahan dan setiap proses geomorfik berkembangan sesuai dengan karakteristik benrtuk lahan itu sendiri”. Proses geomorfologi adalah semua perubahan baik fisis maupun kimiawi yang mempengaruhi keadaan bentuk permukaan bumi yang disebabkan oleh tenaga-tenaga geomorfologi. Proses geomorfik itu secara sederhana dapat dibedakan menjadi proses edogen dan eksogen. Proses endogen meliputi proses diastrofisme, seisme dan vulkanisme, yaitu proses-proses yang berasosiasi dengan tenaga yang berasal dari dalam bumi. Proses eksogen meliputi proses pelapukan, erosi, dan gerakan masa batuan/tanah, hasil dari proses asal luar. Proses-poses eksogen  meliputi agradasi yakni proses penimbunan bagian yang cekung menjadi bagian yang tinggi, Degradasi  ialah proses menjadi rendahnya suatu bentuklahan dari kedudukan yang lebih tinggi. Gradasi adalah proses  menjadi ratanya permukaan bumi karena pengaruh dari tenaga-tenaga eksogen. Pelapukan   proses  yang penting dalam kaitan dengan perkembangan lahan karena dapat mempermudah proses yang lain. Pelapukn nampak sebagai gejala disintegrasi atau pelapukan fisik yakni pecahnya batu-batuan yang besar menjadi batuan yang lebih kecil dengan susunan kimia batuan yang tetap dan dekomposisi atau pelapukan kimiawi  yaitu pelapukan yang berakibat terjadi perubahan susunan sifst-sisft batun sehingga berubah dari bartuan semula. Pelapukan organik, pelapukan yang terjadi sebagai gabungan antara kimiawi dan mekanis yang dikerjakan oleh organism. Proses disintegrasi dapat terjadi karena:

  • Insolasi dan reradiasiHasil dari masing-masing proses tersebut akan tercermin pada bentuk lahan yang terjadi. Proses fluvial akan menghasilkan bentuk lahan seperti tanggul alam, gosong sungai, dataran banjir dan kipas alluvial. Gua-gua di daerah karst dan sungai dibwah tanah hasil dari proses pelarutan (solutional). menajdi batuan yang lebih kecil  dengan susunan khemis batu-batuan ini tetap.  Jadi dapat dikatakan bahwa prosesnya berjalan secara mekanis.
  • Suatu dekomposisi. Pada proses dekomposisi (pelapukan kimia) terjadi  pelapukan batu-batuan yang  hasilnya  merupakan batuan dengan  susunan dan sifat-sifat yang berubah sama sekali dari  batuan semula. Sehingga dapat dikatakan  bahwa  prosesnya berjalan secara kimiawi. Kedua istilah disintegrasi dan dekomposisi ini lebih banyak  kita  jumpai  dalam geomorfologi  dari pada istilah pelapukan  khemis dan  pelapukan  mekanis. Tetapi kadang-kadang kedua proses ini  kalau sudah berjalan jauh sukar untuk dibedakan. Juga pada daerah tropis kedua proses-proses  ini berjalan bersama-sama.
  • Proses organik. Proses terjadi secara organik ini merupakan gabungan antara kimiawi  dan mekanik dan diselenggarakan oleh organisme.
Bagaimana proses disintegrasi ini terjadi ? Proses disintegrasi ini dapat terjadi karena :

  • Isolasi dan reradiasi (kekuatan merusak yang diakibatkan oleh matahari)Isolasi atau penyinaran matahari ini terutama terjadi didaerah Aride/ daerah panas dan kering. Karena penyinaran matahari maka batuan-batuan menyerap panas yang ditumbulkan oleh cahaya  matahari sehingga menyebabkan kenaikan temperatur batu-batuan tersebut. Hal ini akan berakibat bertambah besarnya volume batu-batuan dan volume mineral dari batu-batuan tersebut ini terjadi pada siang hari. Radiasi ini merupakan proses berbalikan dengan proses isolasi, yakni terjadinya pemancaran panas kembali ke udarah semula diserab oleh batu-batuan tersebut. Proses ini terutama terjadi pada malam hari, karena itu batu-batuan beserta mineralnya mengalami penyusutan, oleh karena isolasi dan reradiasi ini terjadi tiap hari dan berulang-ulang maka akibatnya batuan tersebut mengalami pelapukan.
  • Disintegrasi yang disebabkan karena pembekuan air. Kita tahu bahwa batuan itu tidak semuanya padat betul tetapi ada yang berpori-pori dan air hujan dapat meresap dalam pori-pori tersebut. Pada daerah  yang temperaturnya kadang-kadang dapat mencapai dibawah titik beku, air yang meresap ini, dapat menyebabkan disintegrasi pada batu-batuan. Disintegrasi yang berjalan karena pengaruh tumbuh-tumbuhan dan hewan. Proses ini dapat bersifat mekanis biologis misalnya pemuatan lobang-lobang oleh tumbuh-tumbuhan dan hewan pada batu-batuan sehingga menyebabkan disintegrasi pada batu-batuan. Juga proses ini dapat bersifat khemis biologis. Yaitu apabila akar tumbuh-tumbuhan mengeluarkan zat-zat yang dapat menularkan zat-zat khemis. Apabila zat-zat yang larut ini dapat mengikat bagian pada batu-batuan, maka dapat terjadi disintegrasi pada batuan tersebut.
  • Disintegrasi yang disebabkan karena Hydratasi. Hydratasi ini adalah proses penambahan air pada senyawa-senyawa khemis. Penambahan air ini menyebabkan terjadinya  penambahan volume dari senyawa khemis tersebut yang merupakan bagian dari batuan atau pengisi celah-celah dari batuan. Kemudian apabila terjadi pemanasan makan airnya menguap sedangkan zat-zat kimiawi tertinggal didalam celah batuan tersebut. Maka proses ini sebenarnya adalah proses kimiawi yang hasilnya adalah mekanis.

Bagaimana proses dekomposisi ini terjadi ? Proses dekomposisi ini dapat terjadi karena:

  • Pelarutan (solution). Pelarutan ini terutama terjadi di daerah basah (daerah basah dengan temperature yang tinggi). Hal ini disebabkan karena:
    1. Didalam humid terdapat banyak air sedangkan air merupakan faktor  pentin bagi pelarutan.
    2. Daerah humid memiliki temperatur yang tinggi, oleh karena itu reaksi-reaksi kimia dapat di percepat.
    3. Daerah humid memiliki banyak vegetasi sedagkan vegetasi ini menghasilkan COasam-asam lain yang dapat mempermudah terjadinya larutan.
  • Hydrolisis. Hydrolisis ini adalah proses terurainya H20 menjadi ion-ion H+ dan OH- dimana H1 merupakan elemen kimia yang dapat masuk didalam senyawa-senyawa kimia, sehingga menimbulkan dekomposisi.
  • Oksidasi. Oksidasi adalah proses penambahan O2 kedalam senyawa-senyawa mineral, atau senyawa-senyawa batuan.
  • KarbonasiKarbonasi adalah proses masuknya O2 kedalam mineral atau senyawa-senyawa batuan.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan bahwa didalam pelapukan proses-proses itu masing-masing tidak berjalan sendiri tetapi saling mengadakan rangkaian sehingga akhirnya menyebabkan penghancuran batu-batuan. Juga dapat disimpulkan bahwa aktivits dari beberapa macam pelapukan itu berhubungan erat dengan keadaan iklim antara lain: Di daerah gurun. Sedikit sekali akan terjadi pelapukan tang ditimbulkan secara khemis dan tumbuh-tumbuhan ( lebih banyak oleh  insolasi dan reradiasi). Sebaliknya didaerah humid itu sedikit sekali pelapukan yang terjadi kaeran isolasi dan reradiasi dan juga pelapukan yang terjadi karena pembekuan air. Sedangkan untuk daerah tropic yang terutama adalah pelapukan kimia. Kenampakan ini bisa terjadi pada batuan-batuan yang besar yang terpecah.
Proses geomorfik itu secara individual dapat menghasilkan kenampakan yang menonjol, sehingga dapat digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk lahan atas dasr genetiknya. Penilaian yang benar tentang arti penting proses geomorfik terhadap evolusi bentuk lahan, tidak hanya memberikan gambaran yang lebih baik  terhadap bagaimana bentuk lahan itu berkembang, tetapi juga harus menekankan pada hubungan genetik dari  komponen bentuk lahan. Bentuk lahan itu jarang terjadi secara individual tetapi bentuk lahan tertentu dapat diperkirakan berasosiasi dengan bentuk lahan lainnya. Apabila suatu bentuk lahan terjadi disuatu daerah maka bentuk lahan asosiatifnya  akan ditemukan juga. Misalnya disuatu daerah  terdapat danau tapal kuda, maka di daerah tersebut juga akan terdapat tanggul alam, dataran banjir atau rawa belakang, seperti teejadi di daerah Adipala, Cilacap, Jawa Tengah, disana terdapat danau tapal kuda (oxbow lake) dari sungai Serayu lama, yang di sekitarnya ditemukan bentuk lahan asosiasinya.
Perlu diketahui pula bahwa proses geomorfik yang mempengaruhi bentuk lahan itu tidak tunggal, melainkan terbentuk oleh gabungan beberapa proses. Kompleks dari proses geomorfik dan tenaga yang bekerja dibawah kondisi iklim tertentu disebut dengan system morfogenetik. Sistem  morfogenetik itu dapat digunakan untuk mengklasifikasikan suatu daerah menjadi morfogenetik. Setiap satuan morfogenetik akan dicirikan oleh proses  geomorfik yang menonjol.
Konsep keempat ini dapat digunakan untuk menginterpretasikan proses geomorfik yang berkerja di suatu daerah atas dasar kenampakan hasil proses yang terdapat pada bentuk lahan. Sebagai contoh lembah yang dalam itu  merupakan hasil proses erosi vertical; material endapan berbutir kasar dan berbentuk pipig itu merupakan hasil dari proses gelombang yang terjadi diaerah pesisir. Disamping itu konsep yang keempat ini dapat memberikan petunjuk bahwa setiap proses geomorfik akan berkembang menurut karakteristik  bentuk lahannya. Misalnya tidak pada semua bentuk lahan akan berlangsung proses longsoran atau dengan perkataan lain  proses longsoran itu tidak terjadi pada sembarangan bentuk lahan.

Konsep Kelima:
Oleh karena tenaga erosional yang bekerja dipermukaan bumi itu berbeda-beda maka akan terjadi suatu tingkat perkembangan dari bentuk lahan”. Menurut konsep Davis, bentuk lahan itu memiliki karakteristik yang menonjol tergantung pada stadium perkembangannya (muda, dewasa, dan tua). Pada tingkat (stadium) akhir perkembangan, bentuk lahan akan menjadi penelain (dataran nyaris). Kebenyakan dari ahli geomorfologi memahami bahwa bentuk lahan itu memiliki tingkat perkembangan, tetapi tidak harus dibedakan menjadi muda, dewasa, dan tua. Stadium  perkembangan itu lebih bersifat subyektif. Untuk menyatakan tingkat perkembangan itu lebih bersifat subyektif. Untuk menyatakan tingkat perkembangan dapat dinyatakan secara factual dari data proses. Tingkat perkembangan itu dapat dinyatakan dengan tingkat pengikisan atau tingkat erosi, yang masing-masing tingkat tersebut dapat dinyatakan secara kuantitatif seperti : tingkat erosi ringan, menengah dan tinggi. Konsep kelima dapat digunakan untuk menunjuk-kan tingkat erosinya. Atas dasar perbedaan tingkat perkembangan dari bentuklahan maka konsep kelima ini dapat digunakan sebagai dasar untuk klasifikasi bentuk lahan suatu daerah.

Konsep Keenam:
Evolusi geomorfik yang kompleks itu lebih umum terjadi berbanding dengan yang sederhana.” Pada umumnya kenampakan topografi detil pada suatu daerah terbentuk dalam suatu siklus erosi. Tetapi pada kenampakan tersebut masih tersisa suatu hasil siklus erosi sebelumnya, banyak kenampakan bentuk lahan individual yang terbentuk oleh beberapa proses geomorfik, dan jarang diketemukan bentuk lahan yang dicirikan oleh suatu proses geomorfik saja, meskipun kita dapat menunjukkan salah satu proses yang dominan. Dalam kaitannya dengan evolusi geomorfik ada 5 kategoti bentang lahan yaitu :
  • Bentang lahan sederhana: adalah bentang lahan yang proses perkembangannya terpengaruh oleh suatu proses geomorfik tunggal yang dominan, misalnya sanddune ( gumuk pasir ) yang terbentuk oleh proses eolian.
  • Bentang lahan majemuk: adalah betang lahan yang proses  perkembangannya terpengaruh dua atau lebih proses geomorfil. Menurut kenyataan bentang lahan itu bersifat majemuk, dan sangat jarang pada daerah yang luas hanya berlangsung satu proses geomorfik saja. Contoh sederhana dari bentang lahan majemuk adalah topografi. Karst. Proses yang dominan adalah proses pelarutan, meskipun demikian proses pelapukan erosi dan amblesan juga terjadi.
  • Bentang lahan monosiklik: adalah bentang lahan yang  terbentuk oleh satu siklus porses erosi, sedangkan yang multisiklik terbentuk lebih dari siklus proses erosi. Kebanyakan dari bentang lahan bersifat multisiklik. Bentang lahan monosiklik umumnya terjadi pada daerah yang baru terbentuk, seperti penggangkatan dasar lautan, permukaan dari kerusut gunung api, dataran laval plato atau daerah yang terkubur. Bentang lahan monosiklik maupun multisiklik dapat bersifat sederahan dan majemuk.
  • Bentang lahan poliklimatik: bentang lahan yang berkembang dibawah lebih dari satu set keadaan iklim, yang diikuti oleh serangkaian variasi orises geomorfik dominan. Kebanyakan dari variasi proses geomorfik dominan.  Kebanyakan dari variasi keadaan iklim itu berasosiasi dengan fluktuasi iklim dari masa Pleistosen, tetapi beberapa daerah aspek tertentu dari topografinya mencerminkan keadaan iklim pada masa tertier. Misalnya kenampakan yang tedapat di Perbukitan Rembang yang memiliki cirri ikim kering dan iklim basah (Fakultas Geografi, 1986). Ciri iklim kering ditunjukkan oleh pasir pantai yang mengisi lubang –lubang karst hasil dari proses pelarutan (yang terbentuk dalam keadaan iklim tropik basah).
  • Bentang lahan terkubur (exhumed) atau tergali: adalah bentang lahan yang terbentuk selama beberapa periode dalam masa geologi lampau, kemudian tertimbun oleh batuan beku atau batuan sedimen, yang kemudian tersingkap kembali karena hilangnya material penutup. Kenampakan topografi yang terkubur mungkin berasal dari zaman Pre-Krambium. Atau juga yang lebih resen seperti Pleistosen. Kebanyakan dari kenampakan yang tergali ulang bersifat lokan dan hanya meliputi daerah sempit dari bentang lahan masa kini. Penggalian ulang tersebut diakibatkan oleh pengikisan aliran masa kini banyak terjadi pada daerah gunung api aktif seperti disekitar Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kediri. Pada kedua daerah tersebut banyak ditemukan temuan kepurbakalaan pada abad ke 8 yang tertutup oleh lahan dan kemudian tersingkap kembali misalnya di Sambisari (Yogyakarta). Candi Tikus (Mojokerto). Dan Candi Kepung (Kediri).
Konsep Ketujuh:
“Topografi muka bumi kebanyakan tidak lebih tua dari pada zaman Pleistosen dan sedikit saja yang lebih tua dari zaman Tersier. Suatu kenyataan bahwa kenampakan topografi yang tua sekali sangat jarang, seandainya ada kenampakan tersebut merupakan suatu bentuk timbunan yang tersingkap dengan proses yang memakan waktu lama. Kebanyakan topografi yang ada sekarang ini mungkin tidak lebih tua dari zaman Pleistosen, dan hanya sebagian kecil saja yang leih tua dari zamam Tertier, karena pada zaman tersebut permukaan bumi mengalami perubahan yang dasyat akibat aktifitas tektonik dan vulkanik yang hebat. Ashley (1931, dalam Thornbury, 194) menyebutkan bahwa pengunungan, lembah, pantai, sungai, air terjun, dan jeram terbentuk setelah zaman Miosen, dan jika ada hanya sebagian kecil saja yang lebih tua dari zaman Miosen. Ashley, memperkirakan 90% dari permukaan lahan saat sekarang berkembang sejak pasca Tertser dan kemungkinan 99% berumur pasca Miosen Tengah.
Struktur geologi umumnya lebih tua dari kenampakan topografi yang berkembang diatasnya. Sebagai contoh Pegunungan Himalaya kemungkinan terlipat pertama kali pada zaman Kristases, kemudian pada zaman Eosen dan Miosen. Kenampakan topografi dari Pengunungan Himalaya yang sekarang, terbentuk pada zaman Pliosen dan topografi yang lebih detail terjadi pada zaman Pleiston atau lebih muda.

Konsep Kedelapan:
"Interpretasi yang tepat terhadap bentang lahan masa kini tidak dimungkinkan tanpa penilaian yang mendalam tentang pengaruh perubahan geologis dan klimatologis yang berulangkali terjadi selama zaman Pleistosen". Perubahan-perubahan geologis dan klimatologis selama Zaman Pleistosen sangat berpengaruh terhadap topografi pada saat sekarang. Proses glasiasi secara langsung dapat melanda  bebrapa juta kilometer persegi, tetapi daerah yang terpengaruh jauh lebih luas dan bahkan dapat mempengaruhi iklim dunia. Derah-daerah dilintang tengah yang sekarang ini beriklim kering, pada zaman Glasial beriklim basah. Paling  tidak ada 100 basin tertutup di Amerika Serikat bagian barat pada zaman Pleistosen berupa danau.
Permukaan air laut pada zama Glasial juga berpengaruh, yaitu tertariknya air laut yang cukup besar kearah kutub menjadi es, sehingga mengakibatkan penurunan muka air laut lebih kurang 100-150 meter. Akibat perubahan muka air laut secara global tersebut mengakibatkan proses peremajaan, deng bukti adanya kenampakan agradasi dan pentorehan pada sungai-sungai. Pada zaman interglasual terjadi pencairan air es, sehingga air laut naik kembali seperti permukaan sekarang. Dalam periode penarikan kembali ari laut, banyak proses geomorfik yang terjadi. Untuk daerah ekuator sepeti di Indonesia pengaruh tersebut tidak begitu jelas. Meskipun pada zama Pleistosen proses glacial merupakan kejadian yang amat penting, kegiatan tektonik dibeberapa daerah yang diawali sejak zaman Pliosen terus berlangsung hingga zaman Pleistosen dan bahkan hingga sekarang. Pembentukan system pengunungan di Pulau Jawa misalnya juga diawali pada zaman Pliosen hingga Pliestosen (Pennekoek, 1949; Bemmelen. 1949)  dan bahkan hingga kini masih terjadi proses neotektonik dibeberapa tempat di Indonesia (Katili, 1980).

Konsep Kesembilan:
Pengetahuan tentang iklim dunia perlu untuk memahami arti peting keanekaragaman proses geomorfik”. Proses iklim, terutama temperature dan curah hujan akan berpengaruh terhadap aktivitas  proses geomorfik.  Pengaruh variasi iklim terhadap proses geomorfik tersebut dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung, misalnya seberapa besar pengaruh hujan terhadap proses erosi, dan seberapa jauh pengaruh suhu terhadap intensitas pelapukan. Pengaruh tidak langsung terutama berkaitan dengan pengaruh iklim terhadap penutup lahan, baik jumlah, jenis maupun agihannya. Penutup lahan tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap proses geomorfik.
Secara garis besar didunia ini kita kenal daerah-daerah beriklim basah (humid), dan kering (arid),  yang unsure-unsur iklimnya berbeda-beda. Perbedaan unsure iklim tersebut akan mengakibatkan perbedaan proses geomorfik. Di daerah iklim tropis basah batu gamping akan dicirikan oleh pelarutan sehingga menghasilkan topografi karst, sedangkan didaerah arid batu gamping akan dicirikan oleh pelapukan mekanik yang menghasilkan kenampakan topografi yang kasar.

Konsep Kesepuluh:
Geomorfologi meskipun lebuh menekankan pada benatang lahan saat sekarang, akan mempermudah manfaat yang maksimum apabila disertai dengan pendekatan historis”. Dalam geomorfologi, yang menjadi sasaran utama adalah asal mula bentuk lahan masa kini, tetapi kebanyakan dari bentang lahan itu terbentuk pada zaman geologis sebelumnya. Pendekatan historis digunakan dalam studi geomorfik untuk menafsirkan  sejarah proses geomorfik (morfogenesa) dari suatu daerah. Pengenalan permukaan bumi sebagai hasil dari proses geomorfik pada masa lalu dapat dilakukandengan pendekatan  palaeogeomorfologi.  Pendekatan palaeogeomorfologi ini dapat digunakan untuk mengetahui kronologi dari proses pembentukan bentuk lahan dari suatu daerah.
Konsep dasar geomorfologi tersebut diatas dapat memberikan pengertian tentang (1) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bentuk lahan, (2) karakteristik proses geomorfik dan (3) pendekatan geomorfik untuk mempelajari evolusi bentuk lahan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bentuk lahan yang tecakup dalam konsep dasar tersebut adalah :
  • Struktur geologi termasuk litologinya, merupakan faktor yang akan tercermin pada bentuk lahannya.
  • Relief, setiap bentuk lahan memiliki relief tertentu, yang merupakan hasil interaksi antara litologi dengan struktur tertentu terhadap faktor eksogen.
  • Iklim, unsur-unsur iklim akan berpengaruh terhadap intensitas proses geomorfik, sebagai penyebab perbedaan bentuk lahan dan tingkat perkembangaannya.
Karakteristik proses geomorfik yang terkadung dalam konsep dasar tersebut adalah :
  • Proses geomorfik itu bekerja sepanjang masa, proses yang bekerja sekarang juga terjadi pada masa lalu dan akan bekerja dimasa yang akan datang.
  • Setiap proses geomorfik akan mempunyai ciri khas yang berbekas pada bentuk lahannya.
  • Proses erosi itu tidak sama intensitasinya sehingga bentuk lahan itu mempunyai tingkat perkembangan.
  • Untuk mempelajari proses geomorfik dan perkembangan bentuk lahan faktor iklim perlu diketahui.
Pendekatan geomorfologi dalam mempelajari evolusi bentuk lahan dalam konsep dasar geomorfologi tersebut adalah :
  • Evolusi bentang lahan itu kebanyakan lebih  bersifat kompleks bebanding yang sederhana.
  • Kebanyakan dari bentang lahan termasuk berntuk lahan, terjadi pada zaman pleistosen, karena pada zaman tersebut didunia terjadi perubahan iklim yang dahsyat dan tektonik serta vulkanik yang sangat aktif.
  • Pendekatan historis penting untuk mempelajari perkembangan bentuk lahan.

Selain pendekatan historis dalam mempelajari perkembangan bentuk lahan dan karakteristiknya  terdapat juga pendekatan fungsional.

Pendekatan Geomorfologi

Studi geomorfologi terdiri dari dua spektrum pendekatan utama, yang secara konseptual saling terkait, yaitu:
  • Studi historical, yang  berusaha untuk mengadakan dedukasi dari kenampakan bentang lahan erosimal dan deposisional dalam hubungannya dengan urutan kejadian historical (seperti tektonik, perubahan muka air laut, ikim) melalui proses yang lampau.
  • Studi fungsional, dari proses-proses yang umumnya wajar dan watak (sifat) material penyusun bumi yang dapat langsung diamati dan yang membantu geomorfologi untuk memahami perbedaan dan kestabilan bentuk lahan (Chorley at al, 1984). Studi fungsional menjelaskan eksistensi dari suatu bentuk lahan dalam lingkungan terbentuknya dan menjelaskan bagaimana bentuk terjadinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bentuk Lahan Organik

Bentuk Lahan Solusional (Karst)

Bentuk Lahan Aeolian